MENENGOK DESA WISATA ADAT USING KEMIREN

Sanggar Genjah Arum, desa Kemiren, Glagah, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Salah satu desa adat di Banyuwangi adalah Kemiren. Desa di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, ini adat dan budaya Usingn/Osingya masih kental dirasakan. Dan salah satu magnet di desa tersebut adalah keberadaan Sanggar Genjah Arum. Sanggar yang dikemas apik dan didesain tradisional ini bak sebuah museum Using, suku asli di Banyuwangi. Pengunjung serasa dibawa menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.

Sanggar Genjah Arum di Desa Kemiren memang milik pribadi seorang pengusaha perkebunan bernama Setiawan Subekti atau biasa dipanggil Iwan. Ahli kopi kelas internasional ini memang sangat peduli dengan pelestarian adat dan Using. Nama Sanggar Genjah Arum diambil dari nama beras yang berkualitas bagus.

Tatanan rumah dan benda-benda kuno di sanggar Genjah Arum seperti menceritakan Desa Kemiren pada masa 50 tahun lalu. Di sana terdapat 7 buah rumah adat Osing, yang ditata tak beraturan di lahan kurang lebih 7000 meter persegi. Rumah kuno tersebut sebagian sudah berusia hampir 100 tahunan yang dikumpulkan oleh Iwan. Bahkan ada rumah yang usianya lebih dari 100 tahun yang ukurannya sangat besar, yang biasanya digunakan untuk berkumpul dan pertunjukan kesenian di sanggar tersebut.

Selain itu, ornamen kuno seperti bebatuan fosil, mesin ketik dan telepon kuno serta bermacam barang berusia lebih dari 50 tahun terpajang di masing-masing rumah kayu khas Using yang berada di sanggar itu.
Sanggar genjah arum, Kemiren, Banyuwangi.

Ada 4 macam bentuk khas adat rumah Banyuwangi, yakni Crocogan, Tikel/baresan, Tikelbalung, dan Serangan. Keempat jenis rumah itu ada di Sanggar Genjah Arum, Kemiren. Dan boleh percaya atau tidak, rumah-rumah tersebut tahan gempa. Struktur utama rumah Osing berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding tanpa paku, tetapi menggunakan paju (pasak pipih).

Setiap jenis atap rumah adat Osing itu mengandung makna. Atap Crocogan terdiri dua sisi, melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, Tikel Balung terdiri tiga sisi, melambangkan lika-liku kehidupan berumah tangga, dan Baresan terdiri 4 sisi, melambangkan rumah tangga yang sudah beres, atau berjalan baik.

Perbedaan bentuk atap rumah adat Osing tersebut sekaligus menandai status sosial penghuninya. Rumah yang beratap Tikel Balung melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah Crocogan melambangkan penghuninya adalah keluarga mudah dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, sedangkan rumah Baresan melambangkan pemiliknya sudah mapan, secara materi berada di bawah rumah bentuk Tikel Balung.

Bentuk bangunan rumah Osing itu sendiri dibagi dalam tiga ruang, yakni Mbyale (balai/serambi) yang biasa digunakan untuk menjamu tamu dan ngobrol santai dengan tetangga dekat.

Kemudian Jerumah (ruang tengah dan kamar) adalah bagian rumah yang biasa digunakan sebagi tempat istirahat dan bercengkrama bersama keluarga, dan Pawon (dapur) yang biasa digunakan ibu-ibu untuk memasak.

Sedangkan motif ukiran yang umumnya ada di bagian rumah atau perabotan orang Osing ada beberapa motif. Ada motif Srengenge (matahari) yang melambangkan harapan akan masa depan rumah tangga yang cerah, Bunga Pare melambangkan perjalanan kehidupan rumah tangga yang menjalar, Kawung yang bermakna pasangan yang sudah menikah tidak boleh mencari lagi yang lain dan motif Selimpet yaitu garis-garis berpola yang saling berhubungan atau tidak ada ujung pangkal, seperti belas kasih yang tak berujung.

Kini Sanggar Genjah Arum menjadi jujugan wisatawan yang ingin mengenal dari dekat rumah khas Using. Bupati Banyuwangi, Azwar Anas sering mengajak dan menjamu tamu kehormatannya di Sanggar tersebut untuk menikmati seni budaya dan kuliner khas suku Using.

Bagi pengunjung Sanggar Genjah Arum, ada lima suguhan Istimewa yang bisa dinikmati, yaitu :

Angklung Paglak
Paglak di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Paglak adalah gubuk kecil sederhana tanpa dinding yang terbuat dari bambu dan beratap ijuk (anyaman daun kelapa), yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman. Paglak umumnya berukuran hanya 2x3 meter dan dibangun sekitar 10 meter di atas tanah, ditopang empat bumbu utuh sebagai kaki penyangga. Jadi, jika seseorang ingin masuk ke dalam gubuk, ia harus memanjat untuk mencapainya.

Awalnya, fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari burung. Petani biasanya menjaga sawah sembari bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak. Angklung paglak juga dimainkan pada saat panen padi di Desa Kemiren. Versi lain, konon musik tersebut dulunya diciptakan untuk mengejek para penjajah kolonial. Untuk memainkan musik tersebut dibutuhkan keberanian dan konsentrasi ekstra karena bertempat di ketinggian. Orang-orang Belanda yang ditantang untuk memainkan musik di ketinggian,  tidak berani dan mengakui bahwa orang pribumi jauh lebih berani daripada mereka.

Angklung Paglak biasanya dimainkan 4 pemian laki-laki, yang terdiri dari 2 pemain angklung dan 2 orang pemukul kendang. Seperti namanya, kesenian ini harus dimainkan di atas ketinggian dari bilik Paglak. Meski begitu tidak ada perasaan takut bagi seniman saat tampil. Justru sebaliknya, bermain dari ketinggian membuat mereka semakin asyik memainkan alat musik yang diiringi canda dan senyuman. Ditambah lagi dengan ketinggian paglak, ketika angin bertiup kencang, maka panggung semakin bergoyang. Bukannya takut, hal ini justru membuat pemain angklung semakin bersemangat.

Angklung Paglak khas Banyuwangi.

Angklung Paglak haruslah memainkan lagu-lagu kuno yang diyakini mengandung nilai spiritual dan petuah kehidupan. Seperti lagu Jaran Dawuk, Gunung Sari, Lemar limir, Gondorio, Kembang jeruk dan masih banyak lagi. Uniknya semua lagu ini tanpa lirik (semacam Mozart) dan siapa penciptanya masih misterius. Yang pasti lagu kuno tersebut dipertahankan sebagai ciri khas kesenian Angklung Paglak.

Paglak pun mengalami transformasi dari yang dulu didirikan di sawah untuk mengusir burung berubah menjadi aksesori budaya di halaman rumah atau perkantoran. Paglak di Sanggar Genjah Arum milik Setiawan Subekti itu berdiri di balik pintu gerbang barat. Tingginya sekitar 15 meter. Angklung paglak pun menjadi kesenian khas Banyuwangi yang disuguhkan untuk para tamu atau turis yang berkunjung ke Sanggar Genjah Arum.


Tarian Barong Kemiren
Barong desa Kemiren, Banyuwangi.
Tarian Barong Kemiren ini disuguhkan sebagai penyambut para tamu yang akan hadir. Sebelum memasuki sanggar, para tamu akan diarak bersama penari dan pemain musik Barong memasuki gerbang Sanggar yang terletak paling ujung Desa Kemiren tersebut. Kemudian di dalam halaman sanggar tersebut, Barong yang sudah berusia hampir 100 tahun itu menampilkan atraksi tarian.

Barong memiliki arti bareng (bersama), untuk masuk ke dalam tempat yang kita anggap memiliki makna. Wisatawan tidak hanya melihat atraksinya, namun filosofi yang terkandung dalam tarian Barong yang artinya kebersamaan. Atraksi Barong Kemiren ini berlangsung selama 15 menit. Barong meliuk-liuk menyelaraskan musik yang dibunyikan. Kemudian adanya penari "pitik-pitikan" menambah keindahan tarian Barong tersebut.

Othek (Musik Lesung)
Musik Gedhogan ala desa adat Kemiren, Banyuwangi.
Musik Gedhogan ala Desa Kemiren.
Selain menikmati Tari Barong Kemiren, para pengunjung juga akan disuguhi penampilan "girlband" khas Kemiren. Mereka bukanlah perempuan-perempuan cantik, melainkan wanita-wanita yang sudah uzur, memainkan alu dan lesung (kayu tempat menumbuk padi). Mereka bergantian memukul lesung-lesung dihadapan mereka. Musik yang dimainkan mbah-mbah ini disebut Gedhogan. Biasanya diiringi oleh pemain biola tradisional dan angklung paglak. Kesenian ini merupakan warisan budaya asli Osing, Suku asli Banyuwangi.

Pada saat masa panen tiba, para petani menggunakan ani-anak diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah. Saat menumbuk pada, para perempuan memainkan tradisi Gedhogan, yaitu memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi ritmis yang enak didengar. Dari sinilah tradisi Ghedhogan bermula.



Tarian Gandrung yang Mempesona

Tari Gandrung desa adat Kemiren, Banyuwangi.
Tari Gandrung sebenarnya sebagai tari pembuka dalam menyambut tamu. Tapi di Sanggar Genjah Arum, tarian ini disuguhkan ketika tamu sudah bersantai dan menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.

Para penari yang biasanya berjumlah 3 orang itu, menarikan sejumlah babakan (bagian) tarian gandrung Banyuwangi. Setelah itu, penari membawa selendang untuk diberikan kepada tamu yang menonton disana.

Bagi yang terpilih dan menerima selendang dari gandrung, diwajibkan untuk menari bersama gandrung. Hal ini merupakan bagian dari tarian Gandrung yang disebut "Paju Gandrung". Secara silih berganti, para gandrung tersebut mengajak para tamu untuk ikut melantai.






Nikmatnya Kopai Using
Jangan menyesal pernah ke Desa Kemiren tapi tidak mencicipi kopinya. Sebab Kopi olahan masyarakat Desa Adat Using Kemiren Kecamatan Glagah, Banyuwangi, cukup dikenal karena cita rasanya yang khas. Kopi yang diproduksi Paguyuban Tholik Kemiren (Pathok), ini memiliki cara tersendiri dalam proses pembuatannya.

Tak hanya mencicipi, pengunjung dipersilahkan praktek secara langsung. Mulai dari proses menyangrai, menumbuk biji kopi yang matang, menyaring bubuk kopi hingga praktek cara penyajian kopi yang benar sehingga menghasilkan kopi yang bercita rasa tinggi.

Rasa kopi yang diolah secara benar ini, dipastikan akan menggetarkan lidah dan ruang mulut anda. Karakter 'Kopai Using' akan terasa. Anda bisa memesan kopi olahan seperti house blend, kopi murni Arabica atau pun Robusta, baik yang expresso maupun regular, semua dijamin menggetarkan lidah Anda.

Sambil menikmati penampilan seni budaya di Sanggar Genjah Arum, secangkir kopi dan jajanan khas Banyuwangi seperti tape buntut, bolu kuwuk dan bermacam gorengan, menambah nikmatnya menikmati suasana di Sanggar Genjah Arum.
Menikmati kopi Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi
Pengunjung bisa duduk-duduk dan menyeruput kopi di balai rumah 

RAHASIA KOPI USING
Di Desa Kemiren, menyangrai kopi sesuai standart internasional telah diperkenalkan dan dibudayakan oleh Tester kopi internasional, Setiawan Subekti, yang menjadi mentor warga kemiren untuk belajar mengolah kopi menjadi sajian minuman yang istimewa. Karena itu tidak heran sajian kopi di Desa Kemiren memiliki cita rasa tinggi.

Untuk mendapatkan sajian kopi yang berkualitas kuncinya terletak pada pemilihan biji kopi pilihan dan proses pengolahan yang benar.
Kopi osing khas desa Kemiren, Banyuwangi.
Proses pengolahan kopi Osing.
Yang pertama, memilih biji kopi robusta yang baik. Biji kopi yang dipilih harus memiliki kadar air tidak lebih dari 15 persen. Biji kopi asal Banyuwangi, khususnya kopi yang dihasilkan dari perkebunan yang berada di sisi timur dan sisi barat Gunung Ijen, adalah salah satu yang terbaik di dunia. Kopi yang dihasilkan antara sisi barat dan timur Gunung Ijen memiliki cita rasa yang berbeda. Perkebunan yang menghadap ke Timur mendapat sinar matahari yang lebih banyak, dan menghadap ke laut, sehingga kadar garamnya tinggi. Sebaliknya perkebunan di sisi barat dipengaruhi oleh angin gunung. Namun keduanya menghasilkan kopi yang sama enaknya.

Usai memilah, biji kopi selanjutnya disangrai diatas loyang yang terbuat dari tanah liat. Loyang tanah liat dipilih karena mampu menyimpan suhu panas yang stabil saat dipakai untuk menyangrai biji kopi.

Suhu yang stabil diperlukan saat proses menyangrai. Karena, biji kopi akan matang secara merata dan sempurna. Selain itu, proses dan teknik menyangrai menjadi faktor penting untuk menciptakan citarasa kopi itu sendiri. Sebab sebaik apapun kualitas biji kopi jika cara menyangrainya salah maka kopi akan tidak memiliki citarasa yang bagus. Biji kopi yang disangrai tidak harus hitam, karena itu artinya biji kopinya sudah gosong dan rasanya tidak enak. Menyangrai kopi cukup 20 menit saja.

Biji kopi yang matang selanjutnya dipindahkan ke nyiru dan segera diangin-anginkan. Itu perlu dilakukan agar kopi cepat dingin.

Sebelum ditumbuk, biji kopi terlebih dahulu disimpan selama 3 hari, atau minimal 1x24 jam. Dengan tujuan mengurangi kandungan getah di biji kopi. Usai ditumbuk hingga hancur, selanjutnya disaring (diayak) untuk menghasilkan bubuk kopi yang halus.

Kopi Jaran Goyang
Kopi Kemiren yang diberi nama Kopi Jaran Goyang ini juga memiliki komposisi dalam penyajiannya. 1 Cangkir kopi, cukup 1 sendok makan bubuk kopi. Air yang digunakan untuk menyeduh dianjurkan air mendidih yang didiamkan sekitar setengah menit.

Selanjutnya air dituang cukup separuh cangkir dan diaduk pelan sembari dituangkan kembali air yang sama hingga hampir penuh.

Sebelum meminum, hidung harus didekatkan pada bibir cangkir. Setelah aroma kopinya merasuk ke hidung, baru diseruput. "Harus sampai bunyi sruuuut. Sebelum ditelan, tahan dulu di mulut sampai rasanya menempel di lidah," papar Iwan.

Itulah Kopai Osing! kopi khas asli Banyuwangi yang terkenal dengan jargon "Sekali Seduh Kita Bersaudara".





Artikel BANYUWANGI BAGUS Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Scroll to top